Bukan suatu hal yang mudah untuk melakukan dakwah di daerah pedalaman. Setiap daerahnya, masing-masing memiliki tantangan dan kesulitan yang berbeda-beda. Jika di daerah perkotaan kita terbiasa menapaki jalan yang beralaskan aspal, lain halnya jika di pedalaman, sehari-hari yang kita temui adalah jalan berlumpur, licin, berbukit, dan penuh bebatuan. Di beberapa badan jalan, juga tidak jarang dipenuhi banyak lubang. Akses jalan yang juga kecil, ikut menguji konsentrasi agar tidak terjatuh ke dalam jurang.
Minimnya pengetahuan masyakarat tentang agama juga menjadi rintangan tersendiri bagi Didik, salah seorang dai binaan Dompet Dhuafa Waspada yang tinggal di Kab. Karo, Sumatera Utara. Dari pantauan yang ia lihat, di daerah sana memang sudah ada terdapat masjid yang berdiri dengan bangunan yang kokoh, namun sangat disayangkan ketika masjid yang menjadi tempat ibadah itu ditemukan banyak kotoran cecak, kotoran burung, dan juga penuh sawang dilangit-langitnya. Lantai pun tidak kalah berdebunya, di tambah lagi ambal yang terbentang mengeluarkan bau kurang sedap.
Itulah mengapa menjadi seorang dai bukan hal yang mudah. Di tempat ia bermukim, Didik mengutarakan bahwa anak-anak dan orang tua yang belum bisa membaca alquran. Ibu-ibu pun, jarang sekali ditemukan menggunakan hijab. Bahkan yang terparah, ilmu dasar yang berkenaan dengan fiqh begitu minim sehingga untuk tata cara mandi junub juga banyak tidak tahu. “Memang disini anak-anak itu belum bisa baca alquran, orang tuanya pun juga, lebih parahnya gak tahu bagaimana mandi junub,” ucap Didik.
Dari segi ekonomi, masyarakat di sana juga masih jauh dari kata sejahtera. Ada yang bekerja sebagai buruh tani di ladang orang dan ada juga petani miskin yang telilit hutang. harus super sabar dan ihklas menjalani hari-hari sebagai pengemban dakwah. Kondisi ini memaksa Didik harus bisa mempunyai strategi dakwah tersendiri agar bisa diterima di lingkungan. “Menghadapi kenyataan seperti inilah saya memang harus benar pandai-pandai, agar bisa masuk di lingkungan mereka dan bisa diterima,” curahnya.
Diakui Didik, sebagai seorang dai disana, ia harus bisa menempatkan posisinya bukan hanya sekadar mengajarkan agama, tetapi lebih memposisikan diri sebagai teman. “Utamanya ya dai bukan datang kesini hanya untuk memberikan materi agama, namun harus juga memposisikan sebagai kawan yang siap menerima curhat umat,” katanya. Ia juga berkata bila perlu, ia pun harus dapat menempatkan dirinya sebagai advokat dimana saat terjadi permasalahan. “Bila perlu itu ya saya harus bisa memberikan advokasi dan solusi terkait masalah yang dihadapi mereka, memberikan saran-saran yang tepat dari apa yang mereka keluhkan,” ucapnya.
Hal itulah yang membuat Didik harus banyak belajar lagi tentang bagaimana bersikap menghadapi segudang permasalah. Ia pun mengaku tidak mudah menjalaninya, sebab pada awalnya ia hanya mejalankan tugas untuk mengajarkan agama. Namun, keadaan menuntut demikian. “Tidak mudah memang melakukannya, tapi setidaknya saya bisa sampaikan kepada mereka ketika menghadapi masalah untuk tetap berdoa dan meyakinkan ke umat kalau setiap masalah pasti ada solusinya,” katanya sambil melanjutkan cerita.
“Itu masih masalah sebagian kecil ya yang akan dihadapi para dai ketika hendak mengajar di pedalaman,” lanjutnya. Didik mengaku, ketika mengajar ke daerah pedalaman secara umum memang notabenenya pendidikan masyarakat setempat begitu minim. Apalagi di daerah minoritas yang keluarga pra sejahtera pula. Sisi lain yang juga membuat Didik cukup kewalahan, ketika ia dihadapkan dengan permasalahan adat, dimana masyarakatnya lebih menempatkan posisi aturan adat diatas aturan agama.
“Kalau sudah perkara adat lagi nih itu yang tersulit, karena tidak bisa dipungkiri mereka masih lebih mengutamakan aturan adat dibanding aturan agama dalam aspek hidupnya,” kata Didik. Dari situlah, ia juga semkain ditempah untuk pandai mengikuti petunjuk teknis para pendahulunya yakni bahwa falsafa air harus dijalankan. “Bukan perkara cari ilmu selamat namun ini demi keberlangsungan dai bisa bertahan,” katanya. Tidak jarang juga ia mengalami bentrok dengan masyarakat sebab berbedanya dengan aturan budaya yang selama ini secara turun temurun telah mereka pegang. “Kalau udah bentrok pikiran biasa ya saya tidak ambil hati, saya anggap aja itu bumbu-bumbu dakwah,” katanya.
Terlepas dari itu semua, ia berpesan kepada siapa saja yang akan dan sedang menjalankan tugas sebagai dai di pelosok negeri bahwa tetaplah ingat untuk bekerja karena Allah. “Tetap ingat saja bahwa kita bekerja di ladang Allah. Artinya jika ia kerja di ladang orang saja dapat upah maka bekerja diladang Allah sebagai pendakwah upahnya ada yakni surga,” tuturnya.
Tanggung jawab seorang pendakwah memang benar bukan hal yang mudah. Tentu kita yang hanya umat biasa butuh saling mendukung dan mendoakan untuk jalan dakwah para dai. Sebab, sejatinya dakwah bukan hanya tugas dai tetapi tugas kita semua umat islam. Hanya saja, para dai yang memilih untuk memfokuskan aktivitas sehari-harinya murni untuk berdakwah mengemban tugas yang lebih lagi.
Untuk itu, tidak ada salahnya jika kita terus mendukung dan mendoakan perjuangan para dai kita di berbagai pelosok negeri untuk tetap menjalankan amanahnya dengan baik. Kita dapat memberikan dukungan berupa bantuan moril ataupun materil. Melalui program dai yang dikelola Dompet Dhuafa Waspada kami mengajak untuk bersama peduli nasib saudara kita yang tinggal di daerah minoritas dengan mendukung program dai Dompet Dhuafa Waspada.
Melalui program tersebut berarti kita sudah membantu menyelamatkan akidah saudara kita yang berada di daerah minoritas. Adanya dai yang ditempatkan disana sedikitnya membantu saudara kita yang berada di daerah minoritas untuk mendalami Islam. Salurkan donasi terbaik Anda melalui rekening BNI Syariah 300.300.3155 atau Mandiri 106.0010949819 An Dompet Dhuafa. Semoga donasi yang dikirimkan nantinya menjadi amal jariyah untuk kita semua, aamiin.
Bait Kisah di Ladang Dakwah
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram