Strategi Didik, 13 tahun berdakwah di Tanah Mejuah-juah

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Secara geografis, Kabupaten Karo terletak di wilayah dataran tinggi Sumatera Utara. Dengan derajat suhu yang dingin, daerah ini pun termasuk lokasi rawan bencana mulai dari erupsi gunung, longsor, dan juga banjir.

Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat seorang dai yang mengabdikan diri untuk terus berada di jalan dakwah.

Dai yang biasa di sapa dengan ustadz Didik ini, bukan saja memikirkan tantangan hidup dan tinggal di daerah rawan bencana tapi juga tantangan beradaptasi dengan masyarakatnya.

Didik ingat betul bagaimana awal mula ia mendapat penolakan ketika ditempatkan berdakwah di tanah karo itu.

“Bapak silakan pulang, kami tidak butuh. Di sini kami sudah aman dan damai, jangan karena kau masuk kami bermasalah karena beda agama,” ucapnya menceritakan.

Seperti yang kita ketahui, ciri khas masyarakat karo memang memelihara dan menjunjung tinggi nilai adat istiadat. Perbedaan agama bukan menjadi halangan bagi mereka untuk tetap bersatu. Maka wajar, jika mulanya kata ustadz Didik ada kekhawatiran masyarakat ketika ia sebagai dai ditempatkan berdakwah di sana.

Penolakan yang Didik terima tidak membuatnya putus asa. Sebuah pribahasa dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, benar-benar diresapi olehnya. Perlahan Didik mulai menyusun strategi, bagaimana agar dia bisa dekat dengan masyarakat setempat.

Melihat masyarakat sehari-hari bercocok tanam, Didik pun mulai ikut membantu ke ladang. “Saya coba ikut itu bantu petik cabai, kopi, jeruk, dan merumput juga. Saya tidak ada minta bayaran sedikit pun,” ucapnya.

Tidak hanya itu, Didik pun mengaku pendekatan secara kekeluargaan juga perlu ia lakukan.

“Untuk oendekatan keluargaan saya sering berkunjung kerumah untuk bercerita-cerita. Saya juga menempatkan diri untuk tidak minta dihormati, jadi mereka tidak perlu panggil ustadz, cukup panggil nama saja, atau yang ibu-ibu panggil saja saya anak, dan saya pun panggil mereka nande” kata Didik.

Diakui Didik, panggilan seperti nande, bibi, bulang, dan panggilan di suku Karo lainnya memang menjadi andalan untuk ia bisa lebih akrab. Bahkan, Didik juga memakai marga yang dominan di lokasi.

Didik juga menyempatkan diri untuk bercengkerama di kedai kopi sebagaimana masyarakat melakukannya. “Untuk pahami karakter saya memang harus rajin silaturrahmi ke rumah, ke kedei kopi juga meski saya sebenarnya tak suka ngopi” ungkapnya.

Dari berbagai upaya yang dilakukan Didik, nyatanya memang membuahkan hasil. Terhitung sejak tahun 2010 hingga kini, Didik juga tinggal kurang lebih 13 tahun lamanya untuk mengajarkan ilmu agama di sana.

Kata pria asal Asahan itu, semua bisa ia lalui berkat doa dan kepasrahannya kepada Allah. Ia menjadikan perjalanan dakwahnya ini sebagai uji mental dan sarana membangun kedekatan kepada Allah.

Selain menjalani aktivitas dakwah, saat ini Didik juga melakukan pengawasan unit usaha kelompok tani Di Desa Ajijulu Kec. Tiga Panah, adapun unit usaha, tokoh pupuk, sewa traktor, pengolahan lahan seluas 3000 meter.

Bersama warga ia juga membuat demplot tanaman organik di lahan seluas 100 meter berupa tanaman pisang, kopi, dan sayur.

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Tinggalkan Komentar